MUQODDIMAH


Kamu-kamu pusing cari bahan buat tugas kuliah??? ambil ajah disini http://www.ahmadsholih.blogspot.com/ gruwatis tis tis kok. Tapi jangan lupa bayar ma OP warnet yaaach... he,, he,, he,,. Buat yang pake laptop, jangan lupa bayar listrik tiap bulan sebelum tanggal 10. he,, he,, he,, kayak petugas PLN aja:)he,, he,, he,, . Klo you-you pade kecapean baca blog aku. di Refresh aja dengan liat friendster qu, dijamin banyak foto-foto yang bikin seger otak dan tentunya bisa nyari temen, jodoh, ato ML aja. Opss... ML di kamus ahmad tuh (Mau Liat).he,, he,, he,, buat Para Pembaca silahkan kunjungi friendster qu di ah_mads89@yahoo.com Semoga Bermanfaat(-_-)

31 Maret 2009

TB PARU (Diagnosis & Therapy)

Selamat Datang di Blog Ahmad's

TB PARU


by : akhsaniumar86.blogspot.com/

A. Latar Belakang

Penyakit TB Paruadalah Penyakit infeksi dan menular yang menyerang paru-paru yang disebabkan oleh kuman Microbacterium Tuberkolosis. Saat ini secara epidemiologi menurut WHO terdapat 10-12 penderita TB paru dan mempunyai kemampuan untuk menular, dengan angka kematian 3 juta penderita tiap tahun, dan keadaan tersebut 73 % terdapat di negara yang sedang berkembang dengan social ekonomi rendah seperti Indonesia. Di Indonesia penyakit TB Paru merupakan penyakit rakyat nomor satu dan penyebab kematian nomor tiga. Prevalensi BTA positif adalah 0,3 % (1982). Prevalensi pasien di dunia saat ini adalah sekitar 20 juta orang dan terdapat 3 juta pasien yang meninggal setiap tahunnya karena TB Paru, dan pada survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Depkes RI 1980 TB Paru menduduki urutan ke-10 morbiditas dan urutan ke-4 mortalitas. Pada SKRT tahun 1992 mortalitas ini meningkat ke urutan ke-2.
Berdasarkan informasi dari WHO tahun 1998, program TB Paru di Indonesia masih menempati rangking ke-3 di dunia setelah India dan RRC. Hal ini bisa dilihat dari angka kematian yang masih cukup tinggi yaitu sekitar 2,2 per 1000 penduduk. Dari angka tersebut setiap tahun di Indonesia muncul sejumlah kasus baru sekitar 436.000 kasus. Jika hal ini tidak mendapat perhatian dan penanganan yang tepat, cepat, segera dan intensif, maka prevalensi penyakit ini akan terus meningkat serta resiko penularan pun semakin tinggi.
Permasalahan yang sering timbul pada klien TB Paru terjadinya penularan pada anggota keluarga yang lain, droup out obat, terjadi gangguan peran, dan hubungan dalam keluarga maupun masyarakat, stigma sosial karena proses penyakit, koping individu serta koping keluarga yang tidak efektif.




REVIEW LITERATURE

A. Definisi Tuberculosis Paru

Tuberkolusis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang paru-paru dan దిసేబబ్కన్oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis.
Jenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikro meter dan tebal antara 0,3-0,6 mikrometer. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid sehingga kuman ini tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap fisik dan kimiawi. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah yang banyak oksigen, dalam hal ini lebih menyenangi daerah yang tinggi kandungan oksigennya yaitu daerah apical paru, daerah ini menjadi prediksi pada penyakit paru.

B. Patofisiologi TB Paru

Setelah basil tuberkulosis menginfeksi tubuh manusia, maka bakteri tadi menyebar melalui jalan napas ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai untuk memperbanyak diri. Basil juga menyebar melalui luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis (TBC) terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (sel T) adalah sel imunoresponsifnya. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil, gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronchus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonukleat tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini membutuhkan waktu 10-20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relative padat dan seperti keju, isi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan focus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas ke dalam bronchus dan menimbulkan kavitas. Materi tubercular yang dilepaskan dari difiding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakheobronchial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer menjadi rongga-rongga serta jaringan nefrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk. Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberculosis milier. Ini terjadi apabila focus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam system vaskuler dan tersebar keorgan-organ tubuh.

C. Klasifikasi

Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologi, radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu factor determinan untuk menciptakan strategi terapi.
Klasifikasi TB Paru Program P2TB:
1. TB Paru BTA Positif, dengan criteria:
- Dengan atau tanpa gejal klinik.
- BTA positif: mokroskopik positif 2 kali, mikroskopis positif 1 kali disokong biakan positif 1
kali atau disokong radiologik positif.
- Gambaran radiologik sesuai dengan TB Paru.
2. TB Paru BTA Negatif, dengan criteria:
- Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB Paru aktif.
- BTA Negatif, biakan negatif tapi radiologik positif.
3. Bekas TB Paru, dengan criteria:
- Bakteriologi (mikroskopik dan biakan ) negatif.
- Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
- Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak
berubah.
- Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).

D. Program Therapi

Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan.
Pengobatan Tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif ( 2-3 bulan) dan fase lanjutan ( 4-7 bulan).
Paduan obat yang di gunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomicin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah KAnamicin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin, Asam Klavunalat, Derivat Rifampicin / INH.

Untuk keperluan pengobatan perlu batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang direkomendasikan dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTS).

Strategi (DOTS)
1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambilan keputusan dalam penanggulangan
TB.
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan
penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologist dan kultur dapat di laksanakan di unit
pelayanan yang memiliki sarana tersebut.

3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus
minum obat setiap hari.
4. Kesinambungan ketersediaan bantuan OAT jangka pendek yang cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.

Sejak ditemukan obat-obat anti TB dan dimulainya dengan monotherapi, kemudian mulai timbul masalah resistensi terhadap obat-obat tersebut, maka pengobatan secara paduan beberapa obat ternyata dapat mencapai tingkat kesembuhan yang tinggi dan memperkecil jumlah kekambuhan.
Panduan obat jangka pendek 6-9 bulan yang selama ini dipakai di Indonesia dan dianjurkan juga oleh WHO adalah 2RHZ atau 4KH dan variasi lain adalah 2RHE/4RH, 2RHS/4RH, 2RHS/4RSHS/2RHS/4R2H2, dan lain-lain. Untuk TB Paru yang berat (milier) dan TB Extra Paru, therapy tahap lanjutan diperpanjang jadi 7 bulan yakni 2RHZ/2RH. Departemen Kesehatan RI selama ini menjalankan program pemberantasan TB Paru dengan panduan 1RHE/5R2H2.
Bila pasien alergi/ hipersensitif terhadap Rifampisin, maka paduan obat jangka panjang 12-18 bulan dipakai kembali yakni SHZ, SHE, SHT, dan lain-lain.
Beberapa obat anti TB yang dipakai saat ini adalah.
1. Obat anti TB tingkat Satu
Rifampisin (R), Isoniazid (I), Pirazinamid (P), Etambutol (E), Streptomisin (S).
2. Obat anti TB tingkat dua
Kanamisin (K), Para-Amino-Salicylic Acid (P), Tiasetazon (T), Etionamide, Sikloserin,
Kapreomisin, Viomisin, Amikasin, Ofloksasin, Sifrofloksasin, Norfloksasin, Klofazimin, dan
lain-lain. Obat anti TB tingkat dua ini daya terapeutiknya tidak sekuat yang tingkat satu dan
beberapa macam yang terakhir yaitu golongan ammoglikosid dan qulnolon masih dalam tahap
esperimental. Belakangan ini WHO menyadari bahwa pengobatan jangka pendek tersebut
baru berhasil bila obat-obat yang relative mahal (R&Z) tersedia sampai akhir masa
pengobatan. Di beberapa Negara berkembang, pengobatan jangka pendek ini banyak yang
gagal mencapai angka kesembuhan yang (cure rate) ditargetkan yakni 85% karena :
- Program pemberantasan kurang baik
- Buruknya kepatuhan
Hal ini menyebabkan :
- Populasi TB semakin meluas.
- Timbulnya resistensi terhadap berbagai macam obat.
Adanya epidemic AIDS akan lebih mengobatkan kembali aktifnya TB.
Menyadari bahaya tersebut diatas, WHO pada tahun 1991 mengeluarkan pernyataan baru
dalam pengobatan TB Paru sebagai berikut.
Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni
1. Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4-5 macam obat anti TB perhari dengan tujuan :
- Mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakterisidal)
- Menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut.
- Mencegah timbulnya resistensi obat.
2. Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan 2 macam obat per-hari atau
secara intermitten dengan tujuan.
- Menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi)
- Mencegah kekambuhan
Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33 kg, 33-50 kg dan lebih
dari 50 kg.


DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, S. C & Bare, B G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal-bedah (Brunner & Suddarth) Vol. 2. (edisi 8). Jakarta: EGC
Carol Teyeor, Priscilla. (1999). Fundamental of nursing. NewYork: Lippinchot
Carpenito, L J. (2001). Diagnosa keperawatan (edisi 8). Jakarta: EGC
Marylin, E Doengoes. (2000). Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan/ pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.
Ganong F. William. (1998). Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 17. Jakarta; EGC

Bagaimana pendapat Anda tentang isi dari blog diatas?


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Real Estate. Powered by Blogger